Dalam dunia bisnis, pemilihan nama atau merek merupakan langkah penting yang dapat memengaruhi citra dan kesuksesan sebuah produk. Namun, tidak semua kata bisa dengan mudah didaftarkan sebagai merek di Indonesia. Salah satu istilah yang sering menimbulkan kendala adalah kata “porno”. Meski terdengar catchy atau provokatif, penggunaan istilah ini dalam pendaftaran merek di RI bisa menghadirkan tantangan hukum dan sosial yang cukup kompleks.
Dasar Hukum dan Regulasi di Indonesia
Di Indonesia, pendaftaran merek diatur oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) dan tunduk pada Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis. Salah satu prinsip penting dalam pendaftaran merek adalah bahwa nama atau logo tidak boleh bertentangan dengan hukum, norma kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kata “porno” termasuk dalam kategori istilah yang sensitif karena secara langsung berkaitan dengan konten dewasa dan pornografi. Menurut peraturan yang berlaku, penggunaan istilah yang dianggap melanggar kesusilaan bisa menjadi alasan utama ditolaknya pendaftaran merek. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyebaran konten dewasa atau penggunaan kata-kata provokatif yang bisa menimbulkan kontroversi publik.
Aspek Sosial dan Budaya
Indonesia adalah negara dengan norma sosial dan budaya yang konservatif, terutama terkait isu seksual. Penggunaan istilah “porno” pada merek, produk, atau layanan dapat menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat luas. Misalnya, orang tua, lembaga pendidikan, atau kelompok keagamaan mungkin menilai merek tersebut tidak pantas dan menimbulkan citra buruk.
Selain itu, media sosial dan masyarakat online sangat cepat menanggapi hal-hal yang kontroversial. Sebuah merek yang menggunakan kata “porno” bisa menjadi viral bukan karena kualitas produk, tetapi karena kontroversi, yang mungkin merugikan strategi pemasaran jangka panjang.
Kendala Teknis Pendaftaran Merek
Ketika mendaftar merek di DJKI, petugas akan melakukan pemeriksaan formal dan substantif. Pemeriksaan substantif mencakup pengecekan apakah nama merek mengandung unsur yang dilarang, termasuk kata-kata yang menyinggung kesusilaan. Jika istilah “porno” muncul, kemungkinan besar merek akan ditolak atau memerlukan klarifikasi tambahan dari pemohon.
Selain itu, pengacara atau konsultan kekayaan intelektual sering menyarankan untuk menghindari istilah yang secara eksplisit berhubungan dengan konten dewasa. Alasannya, proses persetujuan bisa lebih panjang, memerlukan argumentasi hukum tambahan, dan tetap berisiko ditolak. Bahkan jika diterima, merek tersebut berpotensi menghadapi tantangan hukum di masa depan dari pihak yang menilai istilah itu melanggar norma sosial.
Dampak pada Strategi Bisnis
Penggunaan kata “porno” dalam merek bukan hanya soal hukum, tetapi juga strategi bisnis. Merek yang kontroversial mungkin sulit dipasarkan secara mainstream. Misalnya, kerjasama dengan platform e-commerce besar, iklan di media konvensional, atau kampanye sosial media bisa terbatas karena kebijakan platform yang melarang konten dewasa atau provokatif.
Selain itu, investor dan mitra bisnis biasanya berhati-hati terhadap merek yang bisa memunculkan kontroversi. Meskipun istilah “porno” bisa menarik perhatian, risiko reputasi sering kali lebih besar daripada keuntungan awal.
Alternatif dan Kreativitas
Bagi pelaku usaha yang ingin tetap menonjol tanpa menggunakan istilah “porno”, ada banyak alternatif kreatif. Misalnya, menggunakan istilah yang terdengar edgy atau provokatif tetapi tidak menyinggung kesusilaan, atau memanfaatkan metafora, singkatan, atau kata baru yang unik. Strategi ini memungkinkan merek tetap menonjol tanpa menghadapi hambatan hukum atau sosial.
Contohnya, alih-alih menyebutkan kata “porno” secara langsung, bisa menggunakan nama yang menyiratkan sensasi atau hiburan dewasa secara lebih halus, sehingga branding tetap menarik tetapi aman secara hukum.
Kesimpulan
Pendaftaran merek di Indonesia tidak hanya soal kreativitas, tetapi juga kepatuhan terhadap hukum, norma sosial, dan etika bisnis. Istilah “porno” sering menimbulkan kendala karena dianggap melanggar kesusilaan, memicu kontroversi, dan berpotensi merugikan strategi pemasaran. Oleh karena itu, pelaku usaha disarankan berpikir kreatif dalam memilih nama merek, mempertimbangkan aspek hukum dan sosial, serta fokus pada branding yang menarik namun tetap aman.
Dengan pendekatan yang tepat, merek tetap bisa menonjol dan diingat oleh konsumen tanpa harus mengambil risiko yang tidak perlu. Kreativitas, strategi, dan kepatuhan hukum menjadi kombinasi penting untuk kesuksesan merek di pasar Indonesia.
Artikel ini menggunakan kata “porno” secara natural, tetap fokus pada topik hukum dan branding, dan disusun agar mudah dibaca tanpa terasa seperti pengulangan kata paksa.
Kalau mau, saya bisa buat versi lebih ringan dan fun, misalnya dengan cerita kasus nyata atau contoh merek yang hampir menggunakan istilah “porno” agar lebih engaging untuk pembaca umum. Apakah mau saya buatkan versi itu juga?